Sabtu, 15 Mei 2010

Kronologi Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia dan TNI

Setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh sekutu pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Dampak kekalahan tersebut Jepang harus menyerahkan semua bekas jajahannya kepada sekutu termasuk Indonesia. Menyerahnya Jepang kepada sekutu tidak diketahui oleh bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia dilarang mendengarkan radio oleh Jepang namun ada beberapa pemuda yang secara sembunyi-sembunyi memutar radio Jepang, sehingga terdengarlah berita kekalahan Jepang oleh Sekutu. Berita ini mendorong pejuang Indonesia untuk segera mendesak Ir. Sukarno memproklamirkan kemerdekaan, namun Ir. Sukarno belum mau, sehingga para pemuda menculiknya untuk dibawa ke Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945, wilayah yang sudah direbut dan dikuasai oleh pasukan Peta dari tentara Jepang.

Setelah dari Rengasdengklok dilanjutkan dirumah Laksamana Maeda jalan Diponegoro Jakarta untuk merumuskan naskah Proklamasi, akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta pada hari Jum’at Legi tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB di kediaman Ir. Sukarno Jln. Proklamasi No. 56 Jakarta. Setelah merdeka, tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Dasar Negara Republik Indonesia Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) serta dibentuk pemerintahan dengan Ir. Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Setelah Jepang kalah dan Indonesia sudah merdeka, maka Jepang membubarkan tentara sukarelanya yaitu Peta pada tanggal 19 Agustus 1945. Tentara Peta yang tersebar di Jawa dan Bali sebanyak + 69 Batalyon serta tentara Gyugun yang tersebar di Sumatra.

Pada tanggal 22 Agustus 1945 baru dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKP) dengan tugas menjaga terjaminnya keamanan dan ketentraman umum. Sampai akhir Agustus 1945 Jepang khususnya di Sumatra masih berkuasa dan Indonesia belum mempunyai satuan militer/tentara.

Perjalanan hidup kemerdekaan Indonesia sejak diproklamasikan tahun 1945 sampai sekarang telah menghadapi cobaan dan batu ujian, namun hal tersebut telah mampu dihadapi.

Perjuangan Melawan Sekutu

Pada tanggal 8 September 1945, 7 orang tentara Sekutu Inggris pimpinan Mayor A.G. Green Halgh sebagai Allied Mission, mendarat di Kemayoran dengan tugas untuk mempelajari situasi dan menyiapkan pendaratan rombongan berikutnya. Rombongan pertama sekutu melalui kapal Cumberland mendarat tanggal 15 september 1945 sebanyak 50 orang dibawah pimpinan WR. Petterson disusul tanggal 29 september 1945 mendarat tentara Sekutu dibawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Cristison Panglima Besar Allied Force Netherlands East Indie (AFNEI) disusul pasukan 23 th Indian Division dibawah pimpinan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn untuk pulau Jawa, 5 th Indian Division dibawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk pulau Jawa dan 26 th Indian Division dibawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers, untuk Sumatera, sedangkan pasukan Australia memasuki Kalimantan dan Indonesia Timur.

Tugas AFNEI antara lain melindungi dan mengungsikan tawanan perang dan tawanan biasa, melucuti dan mengembalikan tentara Jepang ke negerinya serta menjaga keamanan dan ketenteraman. Kedatangan pasukan Sekutu juga disusupi oleh tentara Belanda.


Perjalanan pemerintahan NKRI yang hanya didukung oleh BKR yang bukan tentara, dirasakan aneh oleh Mayor KNIL Urip Sumoharjo, dimana NKRI saat itu harus berhadapan dengan tentara Sekutu yang didalamnya terdapat tentara Belanda dengan organisasi militer dan persenjataan modern, oleh sebab itu Mayor Urip Sumoharjo memberikan kritik “Aneh Pemerintah Zonder Tentara”. Atas dasar kritik tersebut akhirnya pemerintah melalui Presiden mengeluarkan Dekrit dan Maklumat No. 6 tanggal 5 Oktober 1945 tentang didirikannya Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta dengan Panglima TKR Supriyadi (tokoh pemberontak Peta Blitar) dan Kepala Staf Umum Letjen Urip Sumoharjo. Di pulau Jawa dibentuk 10 Divisi TKR yaitu :

- Divisi I Banten – Bogor dengan Panglima Kolonel Sam’un.

- Divisi II Jakarta – Cirebon dengan Panglima Kolonel Asikin.

- Divisi III Priangan dengan Panglima Kolonel Aruji Kartawinata.

- Divisi IV Pekalongan – Semarang – Pati dengan Panglima Jenderal Mayor GPH. Djatikusumo.

- Divisi V Banyumas - Kedu dengan Panglima Kolonel Sudirman.

- Divisi VI Madiun – Kediri dengan Panglima Jenderal Mayor Sudiro.

- Divisi VII Bojonegoro – Surabaya dengan Panglima Jenderal Mayor Jonosewoyo.

- Divisi VIII Malang – Besuki dengan Panglima Jenderal Mayor Imam Sujai.

- Divisi IX Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Panglima Kolonel Sudarsono.

Divisi X Surakarta dengan Panglima Kolonel Sutarto.

TKR dibentuk/berasal dari bekas tentara Peta, bekas tentara KNIL, Heiho dan Seibudan; diluar masih banyak laskar yang berjuang.

TKR terdiri dari unsur darat, laut dan udara dan dibentuk Markas Besar Tertinggi (MBT) yang disusun menurut model Departemen Van Oorlog (Departemen Peperangan Hindia Belanda seperti susunan KNIL dulu).

Pada tanggal 15 Oktober 1945 “Kido Butai” Jepang mengamuk di Semarang, sehingga terjadi pertempuran sengit antara Jepang melawan TKR, laskar dan rakyat pejuang. Pejuang Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih sehingga terjadi pertempuran sengit selama 5 hari 5 malam. Pada tanggal 20 Oktober 1945 Inggris mendatangkan tentaranya dari Brigade pimpinan Brigjen Bethel, sehingga Sukutu ikut campur dalam pertempuran tersebut yang mengakibatkan pejuang Indonesia harus keluar dari kota Semarang, peristiwa ini terkenal dengan Palagan Semarang.

Pada tanggal 18 Oktober 1945 tentara Sekutu Inggris dari Brigade Brigjen Mac Donald ditempatkan di Bogor dan Bandung. Penempatan tentara Sekutu ini juga menghadapi perlawanan dari pejuang Indonesia baik yang tugasnya dalam TKR maupun laskar. Pada tanggal 25 Oktober 1945 tentara Sekutu Inggris dibawah pimpinan Brigjen AWS. Mallaby mendarat di Surabaya. Pendaratan tersebut mendapatkan perlawanan dari TKR Surabaya dibawah pimpinan Kolonel Drg. Mustopo, karena Pejuang Surabaya mencurigai kedatangan Pasukan Sekutu, Inggris akan membantu mengembalikan kolonialisme Belanda di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh datangnya pasukan Sekutu berkewarganegaraan Belanda atas nama Kol. PG. Huijer tanggal 23 September yang membawa misi rahasia dari pimpinan tertinggi Angkatan Laut kerajaan Belanda, yang bertindak dan bersikap terang-terangan menentang Revolusi Indonesia, akhirnya ditangkap dan ditawan di Kali Sosok oleh pejuang Indonesia. Pasukan Sekutu terdesak sehingga dilokalisir pada suatu tempat. Perlawanan Surabaya, mengusir tentara Sekutu Inggris terus dilakukan sehingga mengakibatkan gugurnya Brigjen Mallaby.

Dengan meninggalnya Brigjen Mallaby maka Mayor Jenderal EC Mansergh Panglima Tentara Sekutu di Jawa Timur memberikan ultimatum yang menyebutkan bahwa para pemimpin Indonesia termasuk pemimpin gerakan pemuda, para Polisi dan petugas radio Surabaya harus melaporkan diri menjelang pukul 18.00 tanggal 9 November 1945 mereka harus bergerak, berbaris satu persatu dan menyerahkan senjata yang mereka miliki pada jarak 100 yard dari tempat pertemuan. Kemudian semua orang Indonesia harus berjalan mendekat dengan kedua belah tangan diletakkan diatas kepala untuk kemudian ditawan setelah menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat. Mendengar ultimatum tersebut, rakyat Surabaya marah, sehingga terjadi pertempuran sengit antara pejuang Indonesia melawan sekutu. Pejuang dipimpin oleh Kolonel drg. Mustopo dari TKR dan Bung Tomo dari RRI yang selalu menggelorakan semangat pertempuran. Sewaktu Kolonel drg. Mustopo mempimpin pertempuran pernah diculik oleh Mayor Sabarudin selama beberapa hari, tetapi dilepaskan kembali karena Mayor Sabarudin pernah hutang budi dengan Kolonel Mustopo. Pertempuran Surabaya terjadi sangat sengit sehingga untuk menyelamatkan Brigade Mallaby. Komandan Divisi India ke 23 Mayjen DC Hawthorn meminta campur tangan pemerintah RI Presiden Sukarno. Dengan pesawat khusus Presiden RI Sukarno datang ke Surabaya dan menyerukan agar pertempuran dihentikan. Pejuang Indonesia agar menghormati tentara sekutu yang bertugas mengembalikan tentara Jepang. Karena loyal terhadap seruan Presiden RI Sukarno, akhirnya pejuang Indonesia menghentikan tembak menembak. Kesempatan tersebut digunakan oleh sekutu untuk mendatangkan bala bantuan dari Divisi ke 5 India dipimpin Mayjen EC Mansergh, skuadron Angkatan Udara dan satu eskader Angkatan Laut, sehingga tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya terjadi pertempuran sengit antara rakyat Surabaya dengan tentara Sekutu yang akhirnya terkenal dengan Palagan Surabaya dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Pada tanggal 28 Oktober 1945 pasukan Belanda yang dibantu tentara sekutu Australia tiba di Makasar/Ujung Pandang Sulawesi Selatan. Walaupun mendapatkan perlawanan sengit dari pejuang Indonesia, namun pejuang Indonesia harus mengakui keunggulan mereka, sehingga pejuang Indonesia terdesak keluar kota Makasar terkenal dengan Palagan Makasar. Pada tanggal 29 Oktober 1945 tentara sekutu Inggris dari Divisi 26 India tiba di Sumatra dibawah pimpinan Mayjen HM Chambers, mereka tiba di Medan, Padang dan Palembang. Kehadiran tentara sekutu telah di hadapi oleh para pejuang Indonesia, namun pejuang Indonesia tidak dapat membendung pertempuran yang terjadi, akibatnya Medan, Palembang dan Padang jatuh ke tangan sekutu. Kemenangan tentara sekutu yang didalamnya diboncengi oleh tentara Belanda dan NICA dijadikan jalan upaya Belanda untuk mengembalikan situasi Hindia Belanda seperti sebelum dijajah oleh Jepang.

Tentara sekutu yang ditempatkan di Bogor dan Bandung tidak sepenuhnya dapat menguasai wilayah karena disana-sini terjadi pertempuran. Sekutu hanya mampu menguasai kota-kota besar Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor dan Bandung namun diluar kota besar wilayahnya masih dikuasai oleh pejuang Indonesia. Pada tanggal 14 Nopember 1945 dalam sistem pemerintahan diadakan perubahan dari Kabinet Presidensiil menjadi Kabinet Parlementer. Ir Sukarno tetap sebagai Presiden dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden tetapi pemerintahan di kepalai oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir. Setelah Sutan Syahrir menjabat Perdana Menteri pada tanggal 15 Nopember, beliau mengambil alih pemufakatan antara sekutu dengan Indonesia. Kesepakatan yang diperoleh yaitu sejak tanggal 19 Nopember 1945 Tentara dan Laskar akan keluar dari kota. Perundingan dilanjutkan tanggal 29 Nopember 1945, Indonesia diwakili oleh H. Agus Salim didampingi oleh Utaryo dan Mayor Wibowo, sekutu diwakili oleh Brigjen Lauder didampingi oleh beberapa orang staf. Dalam perundingan tersebut dicapai suatu kesepakatan bahwa sekutu Inggris hanya berkuasa di kota Surabaya, Jakarta,Bogor, Semarang dan Bandung sekitarnya, sekutu tidak mau memperluas wilayahnya, sehingga tugas pengembalian Jepang diluar wilayah tersebut dibantu oleh TKR . Pada saat itu terdapat 35.000 serdadu Jepang yang berada diwilayah pedalaman yang dibebankan ke TKR dalam hal ini Panitia Oeroesan Pengangkutan Jepang daerah dan APWI Allied Prisoners of war and Internees (POPDA). Orang Jepang di Jawa Barat diantar ke Cirebon, di Jawa Tengah diantar ke Tegal dan Jawa Timur ke Probolinggo. Senjata Jepang diserahkan kepada TKR (Indonesia). Tugas ini diserahkan kepada Mayjen Sudibyo yang kemudian diserahkan ke Kolonel Abdul Kadir. Pengangkutan Jepang selesai pada bulan Juli 1946 dan pengangkutan APWI rampung pada bulan Nopember 1946. Setelah selesai tugasnya sekutu meninggalkan Indonesia.

Setelah Tentara Sekutu menguasai kota Semarang pada bulan Oktober 1945, Tentara Belanda yang menyusup pada pasukan Sekutu bergerak ke Selatan menduduki Salatiga, Ambarawa dan Magelang, di Magelang dihadapi oleh pasukan TKR bersama rakyat sehingga terjadi pertempuran sengit. Pasukan TKR dari Divisi IV dan V bersama rakyat tidak tinggal diam terutama setelah Magelang diduduki terjadi pertempuran sengit di Magelang, sehingga Sekutu terdesak mundur sampai di Ambarawa, pemunduran tentara Sekutu mengakibatkan jatuhnya korban Letkol Isdiman selaku orang kepercayaan Pangsar Sudirman, sehingga menggugah tekad Pangsar Sudirman untuk memimpin langsung pertempuran melawan Sekutu. Dengan taktik dan strategi “Supit Urang” yaitu pasukan Sekutu dijepit oleh pasukan dari samping kanan, kiri, depan dan belakang seperti supit urang sehingga konsentrasi Belanda terjepit di daerah Ambarawa, sehingga terjadi pertempuran sengit antara Pasukan Sekutu melawan Pasukan TKR dan rakyat akibatnya pasukan Sekutu dapat di pukul mundur ke Semarang. Pertempuran sengit di kota Ambarawa pada tanggal 19 Desember 1945 terkenal dengan Palagan Ambarawa yang diperingati sebagai Hari Juang Kartika.

Perjuangan Melawan Belanda

Sepeninggal sekutu, kekuasaan di Indonesia beralih kepada Belanda (NICA), sehingga perundingan dilanjutkan. Karena saat ini Inggris hanya menguasai kota-kota besar sehingga daerah masih dikuasai oleh TKR, akibatnya perjalanan sekutu/Belanda dari Jakarta ke Bandung selalu mendapat hadangan dari TKR. Resimen Cikampek dibawah pimpinan Mayor Suroto Kunto dan Kapten Abdul Sofyan pernah menewaskan perwira Inggris/Sekutu, akibatnya sewaktu sekutu pergi, Belanda menjebaknya mengajak berunding tetapi sampai saat ini hilang tidak diketahui jejaknya. Perdana Menteri Syahrir telah membuat kesepakatan dengan Sekutu bahwa TKR akan mengawal kereta api yang membawa bahan makanan dari Jakarta ke Bandung untuk tentara Inggris dan Interniran Belanda. Perdana Menteri Syahrir menjamin bahwa TKR akan mengamankannya agar tidak diganggu oleh pejuang lain.
TKR Divisi I, II dan III loyal terhadap keputusan Perdana Menteri hal ini dengan pertimbangan untuk mendapatkan pengakuan secara de fakto Republik Indonesia yang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945 di forum dunia internasional.
Tugas ini dapat dilakukan dengan baik oleh TKR, namun Belanda (NICA) masih menyebarkan fitnah bahwa TKR adalah pasukan liar dan ekstrimis. Untuk meredam dan membuktikan fitnahan tersebut tidak benar, pada tanggal 27 Desember 1945 TKR menjadi panitia Pameran lukisan yang dihadiri oleh Presiden Sukarno dan Panglima Sekutu di Jawa Jenderal Cristison, serta TKR Resimen Tangerang. Pameran ini berhasil baik tidak ada insiden dan bertujuan Politis bahwa TKR adalah tentara yang teratur dan berdisiplin tinggi. Namun pejuang Indonesia masih berupaya untuk menghadang konvoi tentara sekutu yang membawa makanan dari Jakarta ke Bandung baik lewat Bogor puncak maupun Sukabumi dan yang terbesar terjadi pada tanggal 9 Desember 1945 didaerah Bojongkokosan Sukabumi yang menewaskan seorang Perwira sekutu. Pertempuran sengit terjadi sehingga sekutu meminta bantuan tembakan udara.
Pada tanggal 3 Januari 1946 Kementrian Pertahanan RI dipimpin Menteri Pertahanan Amir Syarifudin dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal ini sebagai kelanjutan dari persetujuan Perdana Menteri Syahrir tanggal 19 Nopember 1945 yang memerintahkan kepada TKR dan Laskar untuk mundur dari Jakarta dan kota besar. Pada tanggal 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden juga pindah ke Yogyakarta, sehingga sejak 4 Januari Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, sehingga praktis Jakarta dikuasai oleh Sekutu. Istana Negara ditempati Pejabat Gubernur Sekutu dan Perdana Menteri Sutan Syahrir berkantor di Jln. Proklamasi No. 56 Jakarta bekas kediaman Ir. Sukarno (tempat mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945). TKR Komandemen Jawa Barat keluar dari Jakarta tetapi tak mau menyerah di Bogor dan Bandung pertempuran dan penghadangan sering dilakukan walaupun Sekutu juga sering mengadakan Raid (penculikan).
Pada tanggal 22 Maret 1946 Markas sekutu menelpon Markas TKR Bandung bahwa Komandan Komandemen I Jawa Barat beserta Menteri Syafrudin Prawira Negara telah tiba di Bandung membawa amanat Perdana Menteri RI Sutan Syahrir yang menyetujui tuntutan sekutu tanggal 20 Desember 1945 tentang pengunduran unsur-unsur bersenjata kita dalam radius 10 km dari kota Bandung.
Akibat dari keadaan tersebut pada tanggal 24 Maret 1946 menjadi peristiwa “Bandung Lautan Api”, TKR membakar semua instalasi militer dan pemerintah sebelum jatuh ke pihak sekutu.
Pada hal markas tertinggi TKR di Yogyakarta mengeluarkan perintah agar jangan menyerahkan begitu saja Bandung Selatan kepada sekutu.
Pada bulan Juli 1946 di Istana Bogor dilakukan serah terima pasukan dari Inggris ke Belanda yang dihadiri oleh Kolonel Thomson Komandan Brigade I/Divisi 7 Desember KL. Pada bulan Juli 1946 pula dilakukan konferensi Malino yang selanjutnya berdirilah “Negara Indonesia Timur” dan “Negara Pasundan”. Setelah berkuasa, pasukan Belanda berupaya untuk mendesak TKR apabila bisa diajak berunding bila tidak akan dihancurkan kelak.
Sekutu Inggris meninggalkan Indonesia terakhir pada akhir Nopember 1946.
Setelah tentara Belanda mengambil kekuasaan berupaya untuk mencari dukungan TKR, tentara TKR terutama yang bekas KNIL didekati agar membantu pasukan Belanda, bagi yang tidak mau dan lebih membela Republik difitnah dan bagi yang mau dijadikan mata-mata, sehingga tidak sedikit kerugian TKR yang harus diderita karena kedudukannya dihancurkan Belanda sebagai akibat bocornya informasi yang diberikan oleh mata-mata Belanda.
Para politisi dan pejabat Pemerintah Indonesia saling berhubungan dan berunding dengan Sekutu yang didalamnya terdapat NICA, namun di lapangan tentara saling bertempur antara Pejuang Indonesia ( TKR dan Laskar) dengan tentara Sekutu.
Pada tanggal 15 Nopember 1946 persetujuan Linggarjati disetujui, walau ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 yang mengantar pembentukan Negara Federal Indonesia yang terikat dalam Persekutuan (Unie) dengan Negeri Belanda terhitung mulai tanggal 1 Januari 1949. Negara Federal disebut Negara Indonesia Serikat dan Republik Indonesia (yang diproklamasikan 17 Agustus 1945) merupakan salah satu bagian saja dari NIS. Dalam NIS akan dibentuk Angkatan Bersenjata Negara, yang terdiri dari pasukan Belanda ditambah pasukan Indonesia yang telah lulus seleksi oleh Belanda. Pasukan tersebut dibawah komando operasional Belanda, Pasukan TKR hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal 3 Juni 1947 TKR dirubah menjadi TNI yang dituangkan dalam Berita Negara No. 24/1947 merupakan leburan dari TKR, KNIL dan Laskar. Namun partai politik yang mempunyai laskar tidak mau menyerahkan kepada TNI, sehingga lahir sebutan “TNI effektif” dan “TNI masyarakat”. Pada saat itu hubungan antara Kementerian dengan Markas Besar TNI kurang kondusif, Kementerian Pertahanan yang sudah mendidik Perwira Pendidikan Politik (Pepolit) ingin menempatkan pada satuan-satuan TNI. Rencana tersebut ditolak oleh TNI, TNI ingin satuan tidak berpolitik dan TNI ingin menjadi inti dari APRIS, semua wilayah dan Gubernur setuju hanya Negara Indonesia Timur yang tidak mau menerima TNI sebagai Angkatan Bersenjata Negara, mereka lebih percaya kepada KNIL dan KL.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Militer I yang menurut Belanda dikatakan sebagai “Politional Actie”. Belanda menyerbu Indonesia menduduki kota-kota besar seluruh wilayah Sumatra dan Jawa. Pertahanan TNI yang menggunakan pertahanan linier dan perang frontal mengalami kekalahan. Sehingga kota-kota besar diduduki oleh Belanda, TNI mundur ke kota-kota kecil Kabupaten dan Kecamatan. TNI di Jawa Barat yang menghadapi Agresi Militer Belanda mulanya kalah, mundur kemudian membentuk kantong-kantong pertahanan di daerah untuk selanjutnya bersama rakyat menggempur pasukan Belanda.
Atas campur tangannya Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi tanggal 1 Agustus 1947, Belanda terpaksa menghentikan Agresinya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun di Jawa Barat membentuk Veleighheids Batalyon (VB) dan Negara Pasundan. Pada tanggal 4 Agustus 1947 Presiden memerintahkan gencatan senjata.
Dengan Agresi Militer I, Belanda berhasil memperluas wilayah pendudukannya terutama di Jawa.
Atas keberhasilan Agresi Militer Belanda I, kemudian Belanda berunding dengan pemerintah Republik Indonesia dengan perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Atas dasar perjanjian tersebut wilayah pemerintah Republik Indonesia terkurung dalam “lingkaran garis Van Mook” dan satuan-satuan TNI yang berada di wilayah pendudukan Belanda harus meninggalkan basis perlawanan untuk pindah ke wilayah Republik yang terdiri dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Karesidenan Madiun, Karesidenan Kediri, sebagian kecil Karesidenan Malang, Karesidenan Pati, Karesidenan Kedu dan sebagian kecil Karesidenan Banyumas. Hal ini terkenal dengan sebutan TNI Hijrah terutama dari Divisi III Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dengan kekuatan 2/3 + 30.000 orang, meninggalkan Brigade Tirtayasa yang bertugas di Banten karena Belanda tidak pernah menduduki wilayah Banten. Divisi Siliwangi yang hijrah semula akan dilebur dalam satuan-satuan TNI dari Divisi lain namun Divisi Siliwangi tidak mau, ingin tetap menyatu, akhirnya hal itu disetujui oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman ditempatkan di Solo, Yogya, Magelang dan Wonosobo.
Pada tanggal 2 Januari 1948 ditetapkan Penetapan Presiden No. 1/1948 yang membubarkan pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang, Panglima Besar Angkatan Perang serta markas Besar Pertempuran. Penpres tersebut meresahkan kalangan TNI dan pimpinan politik, sehingga Panglima Besar Sudirman dan Letjen Urip Sumoharjo menghadap Presiden Sukarno di istana Yogyakarta untuk menyampaikan keresahan prajurit TNI dan saran perbaikan terhadap program Reorganisasi dan Rasionalisasi yang dibuat oleh Kabinet Amir Syarifudin. Saran tersebut diterima sehingga keluar maklumat No. 1 Tahun 1948 tanggal 27 Pebruari 1948, Ditetapkan Panglima Besar Angkatan Perang Mobil Jenderal Sudirman dan Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Mobil Jenderal Mayor A.H. Nasution yang kemudian tanggal 25 Maret 1948 dihapus diganti Staf Operasi.
Kepala Staf Umum Angkatan Perang Komodor S. Suryadarma dan Wakil KSUAP Kol. T.B. Simatupang.
Kabinet Perdana Menteri Hatta yang menggantikan Kabinet Amir Syarifudin yang jatuh karena perundingan Renville tetap melanjutkan program Rera. Sehingga menimbulkan dampak banyaknya TNI masyarakat yang terkena dampak Rera. Akibatnya TNI yang terkena dampak Rera dihasut oleh komunis yang kemudian menimbulkan pemberontakan PKI madiun tanggal 18 September 1948.
Setelah TNI melaksanakan keputusan pemerintah dalam perjanjian Renville, TNI merumuskan keorganisasian untuk menghadapi Belanda dan mempertahankan wilayah Republik Indonesia yang dibatasi oleh garis Van Mook. Hasil rumusan tersebut dibentuk dua Markas Besar yaitu Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dipimpin Kolonel A.H. Nasution dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) dipimpin oleh Kolonel Hidayat. Juga dirumuskan Strategi Perang Gerilya menghadapi Belanda, bila Belanda akan menyerang. Konsep tersebut pada Juli 1948 dirumuskan dalam Rencana Operasi Gerilya, selanjutnya menjadi Perintah Siasat No. 1 yang dikomando dengan Perintah Kilat No. 1.
Untuk Rekontruksi Panglima Besar mengeluarkan Perintah harian No. 37 yang membentuk satuan Mobil dan territorial di Jawa dari semula 7 Divisi dirubah menjadi 3 Divisi dan 1 Divisi sebagai Kesatuan Resimen Umum (KRU).
Pada saat TNI sedang menyusun kekuatan dan merumuskan taktik strategi menghadapi Belanda, PKI dibawah pimpinan Muso memproklamasikan diri membentuk Negara Sovyet Indonesia dengan menggunakan sebagian pasukan TNI yang sakit hati karena terkena Rera dibawah pimpinan Kolonel Dahlan.
Pemberontakan PKI tersebut dapat dihadapi oleh TNI terutama satuan-satuan Divisi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Siliwangi yang sedang hijrah serta para Taruna MA yang sedang dididik di Magelang. Para pimpinan pemberontakan dapat ditangkap dalam operasi militer, ada beberapa yang tewas tertembak antara lain Muso, Perdana Menteri Amir Syarifudin, Kolonel Djoko Sutono, Kolonel Dahlan, Menteri Pertahanan Djoko Suyono dan beberapa Perwira TNI yang terlibat. Belum selesai pasukan TNI melakukan konsolidasi setelah selesai melaksanakan operasi militer menghadapi PKI Madiun, tiba-tiba TNI diserbu oleh Belanda.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer ke II menyerang Republik Indonesia dari tiga penjuru yaitu Tuban, selatan Blitar dan Yogya. Dalam beberapa jam Belanda berhasil menduduki ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta. Setelah Belanda menyerbu Yogya, Panglima Besar Jenderal Sudirman yang saat itu masih sakit langsung mengumandangkan Perintah Kilat No. 1 sebagai pelaksanaan Perintah Siasat No. 1 berupa perintah kepada Satuan TNI untuk bergerilya dan melakukan taktik Wehrkreise dan Wingate. Sebelumnya Panglima Besar Sudirman menghadap Presiden Sukarno di Istana Yogya mengajak Presiden untuk ke luar daerah bergerilya sesuai janji Presiden bahwa bila Republik Indonesia diserang Belanda, Presiden akan turun langsung memimpin gerilya pasukan.
Namun janji itu tidak dapat ditepati Presiden Sukarno, karena pada sidang Kabinet diputuskan bahwa pejabat pemerintah dan politisi Republik Indonesia menyerah kepada Belanda untuk selanjutnya berjuang secara diplomasi.
Karena Keputusan Kabinet tersebut, akhirnya Presiden tetap tinggal di Istana dan mengajak Pangsar untuk tetap tinggal di Istana mengingat kondisi kesehatan Pangsar, namun Pangsar menyatakan bahwa “yang sakit adalah Sudirman Panglima Besar tidak pernah sakit, Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah rakyat”. Dengan keyakinan tersebut Pangsar Sudirman kemudian pamit kepada Presiden dan para Menteri untuk memimpin gerilya.
Sepeninggal Pangsar Sudirman, pasukan Belanda masuk Istana, menahan semua pejabat Republik Indonesia yang ada yaitu Presiden Sukarno, wakil Presiden M. Hatta, K.H. Agus Salim, Sutan Syahrir dan KSAP Suryadarma dibawa Belanda untuk diasingkan ke Medan kemudian dipindahkan ke Bangka, para Menteri dan Politisi ditahan di Istana Yogya.
Sejak tanggal 19 Desember 1948 Pangsar Sudirman memimpin Gerilya. Satuan TNI bersama masyarakat bahu-membahu berjuang untuk membela kemerdekaan. Dengan perlengkapan seadanya hanya senjata rampasan Sekutu dan peninggalan Jepang serta senjata tradisional, pasukan TNI melakukan pertahanan dan sesekali menyerbu Belanda dalam tempat yang lemah. Dengan taktik Wehrkreise satuan-satuan TNI mengorganisir diri untuk melakukan perlawanan terhadap kedudukan Belanda, dan juga satuan TNI yang hijrah dengan taktik Wingate kembali menerobos kedudukan Belanda.
Pasukan yang Wingate dari satuan TNI yang kembali ke Surabaya mengalami kegagalan, namun satuan TNI dari Siliwangi dengan 35.000 personel yang melakukan Long March dari Jawa Tengah kembali ke Jawa Barat sebagian besar mengalami kemenangan berhasil kembali ke kedudukan semula sebelum Hijrah. Hanya ada beberapa satuan yang harus menghadapi pasukan Kartosuwiryo yang sudah berhasil menggalang rakyat untuk memusuhi TNI, sehingga TNI harus berhadapan dengan pasukan Kartosuwiryo dan rakyat.
Keberhasilan taktik Wehrkreise ditunjukkan oleh Dan KWK III di bawah pimpinan Letkol Suharto dengan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan tersebut dilakukan oleh TNI bersama rakyat, yang berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Keberhasilan tersebut telah membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia dan TNI masih ada, sehingga mampu menyudutkan Belanda dimata dunia. Akibatnya Belanda mengajak berunding dengan Indonesia menghasilkan perundingan Rum-Roijen.
Semula tujuan Belanda melakukan Agresi Militer II ingin menghapus Republik Indonesia dan TNI karena dianggap sebagai penghalang berdirinya Uni Indonesia-Belanda, namun TNI tidak mau menyerah dan sebagian pimpinan TNI mantan didikan Belanda mengetahui taktik dan strategi serta apa yang menjadi kemauan Belanda, oleh sebab itu TNI sudah menyiapkan taktik dan strategi menghadapi Belanda, bila Belanda menyerang kembali dengan meminta Belanda untuk berperang dalam waktu lama. Kesiapan TNI tersebut tidak diduga oleh Belanda, Belanda mengira, dilihat dari segi persenjataan, pendidikan dan latihan, logistik di atas kertas TNI sangat lemah dan mudah dikalahkan oleh Belanda, namun Belanda tidak mengetahui jiwa, semangat juang dan patriotisme pasukan Indonesia serta dukungan rakyat terhadap TNI, sehingga perhitungan Belanda meleset dan kini Belanda harus mengakui kehebatan gerilya TNI. Dengan perjanjian Rum-Roijen, akhirnya Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri yang ditahan dibebaskan dan disetujui gencatan senjata. Semula walau Presiden dan Wakil Presiden sudah dibebaskan, disetujui gencatan senjata, Panglima Besar Jenderal Sudirman tidak mau kembali ke Yogya namun atas desakan dan komunikasi dari pejabat TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman mau kembali dari gerilya. Kembalinya Panglima Besar Jenderal Sudirman dari “pertapaan” gerilya disambut oleh rakyat di sepanjang jalan Malioboro. Dengan pakaian kebesaran “Mantel” Panglima Besar Jenderal Sudirman langsung menghadap Presiden dan Wakil Presiden di Istana Yogyakarta.
Setelah ditanda tangani perundingan Rom-Roijen dan Presiden menyatakan gencatan senjata yang diikuti oleh TNI, terjadi perbedaan pendapat antara Pimpinan TNI dan Presiden. Pangsar Sudirman berpendapat bahwa sebelum gencatan senjata harus dirumuskan dulu pelaksanaan tehnisnya agar tidak terjadi kerugian pada TNI seperti Linggarjati dan Renville. Akibat perjanjian Renville, TNI harus hijrah yang dimanfaatkan oleh Belanda dengan membentuk 15 negara bagian atas wilayah yang ditinggalkan oleh TNI. Setelah Rom-Roijen akan ditindaklanjuti dengan Konferensi Meja Bundar dibentuk Republik Indonesia Serikat dengan anggota 15 negara buatan Van Mook dan Republik Indonesia yang bekerja sama dengan anggota Parlemen sebanyak 2/3 dari Negara bagian dan 1/3 dari perwakilan Republik Indonesia. TNI berpikir bahwa yang diputuskan oleh Presiden pasti akan merugikan posisi Republik Indonesia terutama TNI. Oleh sebab itu Pangsar Sudirman berpendirian “lebih baik mengundurkan diri”. Atas pendirian tersebut Presiden Sukarno menyatakan bahwa “Kalau begitu sikap TNI, maka Sukarno Hatta yang akan lebih dulu mengundurkan diri selanjutnya siap sebagai rakyat biasa mengikuti Pimpinan TNI”.
Atas perkatan Presiden tersebut, akhirnya Pangsar dan Presiden sama-sama menangis, berangkulan.
Dicapai kesepakatan bahwa Pimpinan Politik tetap berada pada Sukarno-Hatta dan Pimpinan TNI ditangan Pangsar Sudirman. TNI tunduk pada Pimpinan Politik dan taat kepada pemerintah sesuai Undang-Undang Dasar.

Perjuangan Menghadapi Bom Waktu Peninggalan Belanda

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Merdeka Jakarta dilakukan upacara serah terima kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, Ratu Yuliana menandatangani piagam pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat, RIS diwakili oleh Perdana Menteri Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.

Konferensi Meja Bundar sebagai hasil kompromi terbaik saat itu menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS). Presiden Sukarno ditunjuk sebagai Presiden RIS dan Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagian dari RIS yang terdiri dari 16 negara federal.

Serah terima kekuasaan dan pemerintahan tidak mengalami masalah namun dalam bidang kemiliteran mengalami masalah. Belanda menginginkan keamanan RIS dalam masa peralihan diselenggarakan bersama pada suatu panitia yang bertanggung jawab kepada Ratu Yuliana, hal ini tidak disetujui TNI. TNI berpendapat agar dikoordinir oleh seorang Koordinator, ditunjuklah Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Koordinator Keamanan membawahi semua alat keamanan yang ada. TNI sebagai inti alat pertahanan dan keamanan telah berhasil menempatkan perwiranya sebagai Panglima di Negara federal, kecuali Negara Indonesia Timur yang tidak mau TNI masuk, sehingga ditunjuk Mayor Nanlohi mantan Perwira KNIL.

Kabinet NIT dengan berbagai alasan tidak menghendaki TNI hadir, hal ini karena pengaruh dan pandangan dari Dr. Soumokil Jaksa Agung NIT.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de fakto, Belanda meninggalkan bom waktu bagi Republik Indonesia khususnya TNI.

Tentara KNIL yang semula dibentuk Belanda untuk mempertahankan Negara federal, ada sebagian yang mau bergabung dengan TNI, sebagian ikut ke negeri Belanda dan sebagian tetap di Indonesia tetapi tidak mau bergabung dengan TNI. TNI melakukan rekonstruksi kembali satuannya, dibentuklan 7 teritorium.

Disamping lahirnya Negara RIS KMB juga merubah bentuk sistem pemerintahan dari Presidensil menjadi Parlementer, dengan hasil kesepakatan 2/3 anggota Parlemen berasal dari wakil Negara bagian (federal buatan Van Mook). Terhadap ketentuan ini semula TNI berkeberatan karena Parlemen sebagai lembaga pembuat Undang-Undang termasuk Undang-Undang yang menyangkut hajat hidup prajurit TNI.TNI berpikir bagaimana hasil kerja Parlemen yang berasal dari Negara federal memikirkan prajurit TNI yang dengan gigih menentang kaum federal, kini TNI harus diatur oleh mereka, pasti mereka tidak akan mengakomodasi dan memikirkan kepentingan TNI. Namun karena itu sudah menjadi keputusan pemerintah, maka TNI akan loyal menerimanya.

Pandangan TNI tersebut terbukti, sejak RIS berdiri Kabinet silih berganti, jatuh bangun, Parlemen tak sanggup merumuskan Undang-Undang Dasar sesuai tugasnya tetapi justru ikut mencampuri urusan intern TNI khususnya Angkatan Darat. Akibatnya Pimpinan TNI AD bersidang dan hasil sidang Pimpinan TNI AD beserta para Panglima TT dibawa menghadap Presiden Sukarno di Istana pada saat yang bersamaan terjadi demo rakyat di depan Istana Merdeka untuk mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan Parlemen. Demo rakyat dihadapi oleh Polisi dengan senjata Panser yang moncongnya diarahkan ke Markas Besar Angkatan Darat, tidak ketinggalan atas ulah Polisi tersebut Kostrad dibawah pimpinan Kapten Kemal Idris mengeluarkan tank di Monas yang moncongnya diarahkan ke Istana Merdeka dan Gedung Parlemen. Kejadian tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai upaya kup oleh Pimpinan TNI AD kepada Presiden Sukarno yang terkenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952.

Sebagai akibat dari peristiwa tersebut KSAD Kolonel A.H. Nasution harus bertanggung jawab dan diberhentikan.

Dampak peristiwa 17 oktober 1952 dimana terdapat Panglima TT yang setuju dan tidak setuju, akibatnya di dalam tubuh TNI AD terjadi perpecahan. Dilain pihak dari luar TNI khususnya TNI AD menghadapi bom waktu yang ditanam oleh Belanda.

Di Bandung terjadi pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dipimpin Westerling. Westerling seorang Kapten KNIL yang ke Indonesia tahun 1945 bertugas untuk menghadapi bangsa Indonesia yang menghambat kekuasaan Belanda. Sewaktu di Makassar pernah membantai puluhan ribu rakyat Makassar yang melawan pendudukan Belanda.

Pada tanggal 23 Januari 1950 sisa-sisa KNIL dan KL yang masih berada di Indonesia termasuk didalamnya Speciale Tropen (Pasukan Baret Merah dan Baret Hijau Belanda) pimpinan Kapten R. Westerling yang datang ke Indonesia tahun 1945 membonceng Sekutu dengan tugas mengadakan intimidasi terhadap orang-orang Indonesia yang akan menghalangi pengembalian kekuasaan Belanda. Dalam buku “Mijn Memories” Westerling menulis bahwa pada tahun 1949 mendapat tugas dari Belanda untuk mengamankan daerah Jawa Barat, dimulai bulan Maret 1949 sewaktu Yogya masih diduduki Belanda. Pasukannya dari mantan KNIL, KL dan sebagian pasukan DI/TII Kartosuwiryo. Westerling diberi dana cukup untuk membiayai operasinya dan membeli senjata di Singapura. Pada tanggal 23 januari 1950, sewaktu hendak menyerang gedung tempat Kabinet dengan tujuan akan menculik seluruh Menteri dan membunuh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Wakil Menhan Mr. Ali Budiardjo dan KSAP Kolonel TB. Simatupang. Otak penyerangan tersebut Sultan Hamid II (salah satu Menteri Kabinet dan salah satu penanda tangan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia).

Atas kewaspadaan dan operasi TNI, maka pemberontakan tersebut dapat digagalkan.

Pada tanggal 5 April 1950 Sultan hamid ditangkap, Westerling lari ke luar negeri (Singapura) dengan pesawat Catalina Angkatan Laut Belanda tanggal 23 Pebruari 1950.

Pada tanggal 5 April 1950 Kapten Andi Aziz seorang militer professional didikan Belanda dan Sekutu serta bekas Ajudan Wali Negara Indonesia Timur memimpin pemberontakan pasukan mantan KNIL untuk mencegah pasukan TNI dari Jawa mendarat di Makassar dan mempertahankan bentuk Negara bagian yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam kegiatannya dibantu oleh mantan tentara KNIL dan pesawat Bomber Mitchel dipiloti oleh Tentara Belanda serta senjatanya. Pemberontakan tersebut dapat dihadapi oleh TNI sehingga pasukan Andi Aziz terdesak.

Pada tanggal 19 April 1950 Kapten Andi Aziz menyerah kepada Kodim di Makassar, kemudian diperiksa. Hasil pemeriksaan Andi Aziz menyatakan bahwa keputusan untuk memberontak timbul atas dorongan dari Dr. Soumokil Jaksa Agung NIT. Setelah menyerah, Andi Aziz dibawa ke Jakarta dan diadili oleh Pengadilan Militer di Yogyakarta dengan hukuman 16 tahun 4 bulan 17 hari kemudian dipotong menjadi 14 tahun. Andi aziz ditahan di penjara Ambarawa. Sebelum menyerah sebetulnya Australia akan membantu memberikan Asylum kemudian ia tolak dan memilih untuk menyerahkan diri. Hasil penelusuran terhadap sidang Jungschlager dan Schmid (mata-mata Belanda), seorang saksi menyatakan bahwa pada bulan Pebruari 1950 di Jakarta telah diadakan pertemuan antara Jenderal Belanda Da Lima dengan Soumokil Nikijuluw, Jungschlager dan Westerling. Dalam pertemuan tersebut Jungschlager menyusun rencana kegiatan Andi Aziz untuk menentang Republik Indonesia. Pemberontakan Andi Aziz dapat dihadapi oleh Pasukan TNI dipimpin oleh Kolonel Alex Kawilarang. Andi Aziz ditahan dan diadili di Jakarta, tetapi tahun 1956 (17-8-1956) mendapat pengampunan.

Dalam penyerbuan oleh pasukan TNI, Dr. Soumokil (otak pemberontakan Andi Aziz) melarikan diri ke Manado dengan pesawat yang disediakan oleh Kolonel Scholberg (Komandan Pasukan Belanda di Indonesia Timur) dengan pesawat B-25 milik Angkatan Udara Belanda. Dari Makassar ke Manado terus ke Ambon.

Tanggal 5 s.d. 8 Agustus 1950 sisa-sisa pasukan KNIL dan KL Belanda menyerang pasukan TNI, yang dihadapi oleh pasukan pimpinan Alex Kawilarang, yang atas perantaraan UNCI dicapai persetujuan dengan Komisaris Belanda Mayor Jenderal Scheffelar, disepakati seluruh personel KNIL dan KL meninggalkan Makassar dengan menyerahkan seluruh alat dan persenjataan kepada TNI.

Pada tanggal 25 April 1950 setibanya dari Manado dan Makassar, di Ambon Dr. Soumokil atas bantuan Manumasa memproklamirkan diri berdirinya Republik Maluku Selatan dengan meminta dukungan dari pasukan KNIL Maluku. Gerakan RMS dibantu oleh sebagian dari Politisi Belanda dan Yayasan Setia Sepanjang Abad (Stichting Door de Eeuwen Frouw) lembaga yang dibentuk orang Maluku bekas tentara KNIL yang sejak awal menentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, juga beberapa ilmuwan dan anggota parlemen Belanda. Pemberontakan RMS tidak disetujui oleh orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku. Mereka berupaya untuk berbicara dengan Dr. Soumokil di bawah pimpinan Dr. Leimena tetapi gagal. Akhirnya diselesaikan secara militer di bawah komando Panglima TT VII Kolonel Alex Kawilarang.

Bulan September 1950 kota Ambon dapat direbut oleh TNI, tetapi mengakibatkan gugurnya Letkol Slamet Riyadi dan Letkol Sudiarto komandan TNI setempat serta Dr. Soumokil melarikan diri ke Seram, tetapi Manumasa dapat melarikan diri ke Nederland dan atas bantuan dari pemerintah Belanda Manumasa dapat menghimpun orang-orang asal Maluku di Negeri Belanda untuk melanjutkan gerakan RMS.

Pasukan TNI setelah berhasil menguasai kota Ambon melanjutkan pengejaran ke Seram (Maluku Utara). Setelah bertahun-tahun hidup di hutan dan terdesak oleh pasukan TNI tanggal 12 Desember 1963 Soumokil dapat ditangkap dan diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa Jakarta dengan hukuman mati.

Karto Suwiryo yang tidak setuju dengan KMB dan RIS, menyatakan keluar dari Republik Indonesia dan menentang TNI. Pada bulan Maret 1949 setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil menduduki Yogyakarta, dan Agresi Militer Belanda II tidak berhasil melenyapkan Republik Indonesia dan TNI, sehingga dunia internasional ikut campur tangan terhadap pertikaian Republik Indonesia dan Belanda, maka Tentara Belanda di Tasikmalaya yaitu para Perwira Brigade Gajah Merah Tentara Belanda mengadakan pertemuan dengan Kartosuwiryo. Hasil pertemuan tersebut pasukan-pasukan Kartosuwiryo mulai menerima bantuan alat-alat senjata, amunisi dan perlengkapan lain yang dijatuhkan dari udara. Kelengkapan senjata ini dipakai oleh pasukan Kartosuwiryo untuk menghadang pasukan TNI yang Long march kembali ke Jawa Barat, sehingga tidak sedikit korban TNI yang gugur. Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Cisampan, Cisayong Tasikmalaya, rencananya mereka akan merebut Bandung, Bogor dan Jakarta dengan Bandung sebagai Ibu Kota NII.

DI/TII Kartosuwiryo menjalin hubungan dengan APRA Westerling yang dilakukan oleh Ajudan Westerling Colson dan Van Kleef (Perwira eks KNIL dengan siasat masuk Islam sehingga mudah bergaul dengan Kartosuwiryo) juga dibantu intelijen Belanda NEFIS lewat Jungschlager dan Schmid.

Menghadapi kegiatan Kartosuwiryo semula pemerintah Republik Indonesia melaksanakan upaya damai oleh Perdana Menteri M. Natsir dari Masyumi, tetapi ditolak oleh Kartosuwiryo, sehingga dilakukan operasi militer oleh TNI terutama dari Divisi Siliwangi yang melakukan operasi militer pagar betis anti gerilya.

Hasil operasi tersebut dapat memisahkan rakyat dan menyadarkan masyarakat dari hasutan Kartosuwiryo, sehingga tanggal 4 Januari 1962 Kartosuwiryo dapat ditangkap dan diajukan ke sidang Mahkamah Militer. Tanggal 16 Agustus 1962 sidang Mahkamah dalam keadaan Perang untuk Jawa Madura memutuskan hukuman mati bagi Kartosuwiryo. Hukuman mati dilaksanakan tanggal 16 September 1962.

Pada tanggal 20 September 1953 Tenku Daud Beureuh memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari NII Kartosuwiryo. Hal ini dipicu oleh kekecewaan Letkol Tenku Daud Beureuh selaku Gubernur Militer Aceh karena status Aceh sebagai Propinsi dibatalkan oleh Kabinet PM. M. Natsir sehingga menjadi Karesidenan bagian dari Sumatra Utara. Pada saat kekecewaan sampai pada puncaknya datang utusan dari Kartosuwiryo untuk bergabung. Ajakan itu diterimanya sehingga pasukan Tenku Daud Beureuh melakukan pemberontakan untuk menguasai kota-kota di wilayah Aceh, antara lain Tapaktuan, Sigli, Bieureun, Kotaraja, Meulaboh.

Gerakan Tenku Daud Beureuh juga mendapat bantuan dari warga Malaya bagian Perlis, Kedah dan Penang yang merasa satu suku dan keluarga.

Menghadapi kegiatan DI/TII Aceh dilakukan operasi militer sejak tahun 1953, namun mengalami kesulitan karena dukungan dari Rakyat Aceh, sehingga dirubah dengan jalan damai. Panglima TT. I saat itu Mayjen M. Yasin berupaya untuk membujuk Letkol Tenku Daud Beureuh kembali ke pangkuan ibu Pertiwi.

Pada tanggal 23 Mei 1959 diadakan musyawarah antara pemerintah Republik Indonesia dengan Rakyat Aceh yang menghasilkan keputusan pemerintah Republik Indonesia untuk menetapkan wilayah Aceh sebagai Propinsi Daerah Istimewa dengan kewenangan khusus bidang keagamaan, pendidikan dan peradatan.

Tanggal 14 Mei 1962 Tenku Daud Beureuh bersembahyang Idul Adha bersama kaum muslimin di Banda Aceh dan tanggal 21 Mei 1962 diadakan kenduri besar sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas pulihnya keamanan di Aceh.

Pada tanggal 4 Mei 1962 Kahar Muzakar memproklamasikan berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia, dengan Kahar Muzakar sebagai Presiden. Semula gerakan Kahar Muzakar merupakan bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. Bergabung dengan DI/TII sebagai akibat tidak setujunya dengan tindakan pemerintah yang membubarkan Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS) yang dibentuk pada perang kemerdekaan sebagai akibat program Rera yang anggotanya dikembalikan ke masyarakat.

Panglima TT. VII Alex Kawilarang 1 Juli 1950 membubarkan KGSS. Kahar Muzakar menentang dan menuntut untuk dijadikan Brigade Hasanudin. Pemerintah mengambil kebijakan sebagai cadangan Nasional, beberapa anggota setuju sewaktu akan dilantik termasuk Kahar Muzakar yang dijadikan acting Wakil Panglima TT. VII Kahar Muzakar dan pengikutnya lari ke hutan kemudian melakukan pengacauan dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo. Menghadapi pemberontakan Kahar Muzakar dilakukan Operasi Militer Halilintar dibawah pimpinan Letkol Warrow dan juga dilakukan pendekatan melalui tokoh-tokoh Sulawesi Selatan, namun tidak membuahkan hasil. Operasi Militer terus dilakukan dan pada tanggal 3 Pebruari 1965 Kahar Muzakar tewas tertembak, sejak saat itu keamanan di Sulawesi Selatan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.