Sabtu, 15 Mei 2010

Perjuangan Menghadapi Bom Waktu Peninggalan Belanda

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Merdeka Jakarta dilakukan upacara serah terima kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, Ratu Yuliana menandatangani piagam pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat, RIS diwakili oleh Perdana Menteri Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.

Konferensi Meja Bundar sebagai hasil kompromi terbaik saat itu menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS). Presiden Sukarno ditunjuk sebagai Presiden RIS dan Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagian dari RIS yang terdiri dari 16 negara federal.

Serah terima kekuasaan dan pemerintahan tidak mengalami masalah namun dalam bidang kemiliteran mengalami masalah. Belanda menginginkan keamanan RIS dalam masa peralihan diselenggarakan bersama pada suatu panitia yang bertanggung jawab kepada Ratu Yuliana, hal ini tidak disetujui TNI. TNI berpendapat agar dikoordinir oleh seorang Koordinator, ditunjuklah Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Koordinator Keamanan membawahi semua alat keamanan yang ada. TNI sebagai inti alat pertahanan dan keamanan telah berhasil menempatkan perwiranya sebagai Panglima di Negara federal, kecuali Negara Indonesia Timur yang tidak mau TNI masuk, sehingga ditunjuk Mayor Nanlohi mantan Perwira KNIL.

Kabinet NIT dengan berbagai alasan tidak menghendaki TNI hadir, hal ini karena pengaruh dan pandangan dari Dr. Soumokil Jaksa Agung NIT.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de fakto, Belanda meninggalkan bom waktu bagi Republik Indonesia khususnya TNI.

Tentara KNIL yang semula dibentuk Belanda untuk mempertahankan Negara federal, ada sebagian yang mau bergabung dengan TNI, sebagian ikut ke negeri Belanda dan sebagian tetap di Indonesia tetapi tidak mau bergabung dengan TNI. TNI melakukan rekonstruksi kembali satuannya, dibentuklan 7 teritorium.

Disamping lahirnya Negara RIS KMB juga merubah bentuk sistem pemerintahan dari Presidensil menjadi Parlementer, dengan hasil kesepakatan 2/3 anggota Parlemen berasal dari wakil Negara bagian (federal buatan Van Mook). Terhadap ketentuan ini semula TNI berkeberatan karena Parlemen sebagai lembaga pembuat Undang-Undang termasuk Undang-Undang yang menyangkut hajat hidup prajurit TNI.TNI berpikir bagaimana hasil kerja Parlemen yang berasal dari Negara federal memikirkan prajurit TNI yang dengan gigih menentang kaum federal, kini TNI harus diatur oleh mereka, pasti mereka tidak akan mengakomodasi dan memikirkan kepentingan TNI. Namun karena itu sudah menjadi keputusan pemerintah, maka TNI akan loyal menerimanya.

Pandangan TNI tersebut terbukti, sejak RIS berdiri Kabinet silih berganti, jatuh bangun, Parlemen tak sanggup merumuskan Undang-Undang Dasar sesuai tugasnya tetapi justru ikut mencampuri urusan intern TNI khususnya Angkatan Darat. Akibatnya Pimpinan TNI AD bersidang dan hasil sidang Pimpinan TNI AD beserta para Panglima TT dibawa menghadap Presiden Sukarno di Istana pada saat yang bersamaan terjadi demo rakyat di depan Istana Merdeka untuk mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan Parlemen. Demo rakyat dihadapi oleh Polisi dengan senjata Panser yang moncongnya diarahkan ke Markas Besar Angkatan Darat, tidak ketinggalan atas ulah Polisi tersebut Kostrad dibawah pimpinan Kapten Kemal Idris mengeluarkan tank di Monas yang moncongnya diarahkan ke Istana Merdeka dan Gedung Parlemen. Kejadian tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai upaya kup oleh Pimpinan TNI AD kepada Presiden Sukarno yang terkenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952.

Sebagai akibat dari peristiwa tersebut KSAD Kolonel A.H. Nasution harus bertanggung jawab dan diberhentikan.

Dampak peristiwa 17 oktober 1952 dimana terdapat Panglima TT yang setuju dan tidak setuju, akibatnya di dalam tubuh TNI AD terjadi perpecahan. Dilain pihak dari luar TNI khususnya TNI AD menghadapi bom waktu yang ditanam oleh Belanda.

Di Bandung terjadi pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dipimpin Westerling. Westerling seorang Kapten KNIL yang ke Indonesia tahun 1945 bertugas untuk menghadapi bangsa Indonesia yang menghambat kekuasaan Belanda. Sewaktu di Makassar pernah membantai puluhan ribu rakyat Makassar yang melawan pendudukan Belanda.

Pada tanggal 23 Januari 1950 sisa-sisa KNIL dan KL yang masih berada di Indonesia termasuk didalamnya Speciale Tropen (Pasukan Baret Merah dan Baret Hijau Belanda) pimpinan Kapten R. Westerling yang datang ke Indonesia tahun 1945 membonceng Sekutu dengan tugas mengadakan intimidasi terhadap orang-orang Indonesia yang akan menghalangi pengembalian kekuasaan Belanda. Dalam buku “Mijn Memories” Westerling menulis bahwa pada tahun 1949 mendapat tugas dari Belanda untuk mengamankan daerah Jawa Barat, dimulai bulan Maret 1949 sewaktu Yogya masih diduduki Belanda. Pasukannya dari mantan KNIL, KL dan sebagian pasukan DI/TII Kartosuwiryo. Westerling diberi dana cukup untuk membiayai operasinya dan membeli senjata di Singapura. Pada tanggal 23 januari 1950, sewaktu hendak menyerang gedung tempat Kabinet dengan tujuan akan menculik seluruh Menteri dan membunuh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Wakil Menhan Mr. Ali Budiardjo dan KSAP Kolonel TB. Simatupang. Otak penyerangan tersebut Sultan Hamid II (salah satu Menteri Kabinet dan salah satu penanda tangan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia).

Atas kewaspadaan dan operasi TNI, maka pemberontakan tersebut dapat digagalkan.

Pada tanggal 5 April 1950 Sultan hamid ditangkap, Westerling lari ke luar negeri (Singapura) dengan pesawat Catalina Angkatan Laut Belanda tanggal 23 Pebruari 1950.

Pada tanggal 5 April 1950 Kapten Andi Aziz seorang militer professional didikan Belanda dan Sekutu serta bekas Ajudan Wali Negara Indonesia Timur memimpin pemberontakan pasukan mantan KNIL untuk mencegah pasukan TNI dari Jawa mendarat di Makassar dan mempertahankan bentuk Negara bagian yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam kegiatannya dibantu oleh mantan tentara KNIL dan pesawat Bomber Mitchel dipiloti oleh Tentara Belanda serta senjatanya. Pemberontakan tersebut dapat dihadapi oleh TNI sehingga pasukan Andi Aziz terdesak.

Pada tanggal 19 April 1950 Kapten Andi Aziz menyerah kepada Kodim di Makassar, kemudian diperiksa. Hasil pemeriksaan Andi Aziz menyatakan bahwa keputusan untuk memberontak timbul atas dorongan dari Dr. Soumokil Jaksa Agung NIT. Setelah menyerah, Andi Aziz dibawa ke Jakarta dan diadili oleh Pengadilan Militer di Yogyakarta dengan hukuman 16 tahun 4 bulan 17 hari kemudian dipotong menjadi 14 tahun. Andi aziz ditahan di penjara Ambarawa. Sebelum menyerah sebetulnya Australia akan membantu memberikan Asylum kemudian ia tolak dan memilih untuk menyerahkan diri. Hasil penelusuran terhadap sidang Jungschlager dan Schmid (mata-mata Belanda), seorang saksi menyatakan bahwa pada bulan Pebruari 1950 di Jakarta telah diadakan pertemuan antara Jenderal Belanda Da Lima dengan Soumokil Nikijuluw, Jungschlager dan Westerling. Dalam pertemuan tersebut Jungschlager menyusun rencana kegiatan Andi Aziz untuk menentang Republik Indonesia. Pemberontakan Andi Aziz dapat dihadapi oleh Pasukan TNI dipimpin oleh Kolonel Alex Kawilarang. Andi Aziz ditahan dan diadili di Jakarta, tetapi tahun 1956 (17-8-1956) mendapat pengampunan.

Dalam penyerbuan oleh pasukan TNI, Dr. Soumokil (otak pemberontakan Andi Aziz) melarikan diri ke Manado dengan pesawat yang disediakan oleh Kolonel Scholberg (Komandan Pasukan Belanda di Indonesia Timur) dengan pesawat B-25 milik Angkatan Udara Belanda. Dari Makassar ke Manado terus ke Ambon.

Tanggal 5 s.d. 8 Agustus 1950 sisa-sisa pasukan KNIL dan KL Belanda menyerang pasukan TNI, yang dihadapi oleh pasukan pimpinan Alex Kawilarang, yang atas perantaraan UNCI dicapai persetujuan dengan Komisaris Belanda Mayor Jenderal Scheffelar, disepakati seluruh personel KNIL dan KL meninggalkan Makassar dengan menyerahkan seluruh alat dan persenjataan kepada TNI.

Pada tanggal 25 April 1950 setibanya dari Manado dan Makassar, di Ambon Dr. Soumokil atas bantuan Manumasa memproklamirkan diri berdirinya Republik Maluku Selatan dengan meminta dukungan dari pasukan KNIL Maluku. Gerakan RMS dibantu oleh sebagian dari Politisi Belanda dan Yayasan Setia Sepanjang Abad (Stichting Door de Eeuwen Frouw) lembaga yang dibentuk orang Maluku bekas tentara KNIL yang sejak awal menentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, juga beberapa ilmuwan dan anggota parlemen Belanda. Pemberontakan RMS tidak disetujui oleh orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku. Mereka berupaya untuk berbicara dengan Dr. Soumokil di bawah pimpinan Dr. Leimena tetapi gagal. Akhirnya diselesaikan secara militer di bawah komando Panglima TT VII Kolonel Alex Kawilarang.

Bulan September 1950 kota Ambon dapat direbut oleh TNI, tetapi mengakibatkan gugurnya Letkol Slamet Riyadi dan Letkol Sudiarto komandan TNI setempat serta Dr. Soumokil melarikan diri ke Seram, tetapi Manumasa dapat melarikan diri ke Nederland dan atas bantuan dari pemerintah Belanda Manumasa dapat menghimpun orang-orang asal Maluku di Negeri Belanda untuk melanjutkan gerakan RMS.

Pasukan TNI setelah berhasil menguasai kota Ambon melanjutkan pengejaran ke Seram (Maluku Utara). Setelah bertahun-tahun hidup di hutan dan terdesak oleh pasukan TNI tanggal 12 Desember 1963 Soumokil dapat ditangkap dan diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa Jakarta dengan hukuman mati.

Karto Suwiryo yang tidak setuju dengan KMB dan RIS, menyatakan keluar dari Republik Indonesia dan menentang TNI. Pada bulan Maret 1949 setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil menduduki Yogyakarta, dan Agresi Militer Belanda II tidak berhasil melenyapkan Republik Indonesia dan TNI, sehingga dunia internasional ikut campur tangan terhadap pertikaian Republik Indonesia dan Belanda, maka Tentara Belanda di Tasikmalaya yaitu para Perwira Brigade Gajah Merah Tentara Belanda mengadakan pertemuan dengan Kartosuwiryo. Hasil pertemuan tersebut pasukan-pasukan Kartosuwiryo mulai menerima bantuan alat-alat senjata, amunisi dan perlengkapan lain yang dijatuhkan dari udara. Kelengkapan senjata ini dipakai oleh pasukan Kartosuwiryo untuk menghadang pasukan TNI yang Long march kembali ke Jawa Barat, sehingga tidak sedikit korban TNI yang gugur. Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Cisampan, Cisayong Tasikmalaya, rencananya mereka akan merebut Bandung, Bogor dan Jakarta dengan Bandung sebagai Ibu Kota NII.

DI/TII Kartosuwiryo menjalin hubungan dengan APRA Westerling yang dilakukan oleh Ajudan Westerling Colson dan Van Kleef (Perwira eks KNIL dengan siasat masuk Islam sehingga mudah bergaul dengan Kartosuwiryo) juga dibantu intelijen Belanda NEFIS lewat Jungschlager dan Schmid.

Menghadapi kegiatan Kartosuwiryo semula pemerintah Republik Indonesia melaksanakan upaya damai oleh Perdana Menteri M. Natsir dari Masyumi, tetapi ditolak oleh Kartosuwiryo, sehingga dilakukan operasi militer oleh TNI terutama dari Divisi Siliwangi yang melakukan operasi militer pagar betis anti gerilya.

Hasil operasi tersebut dapat memisahkan rakyat dan menyadarkan masyarakat dari hasutan Kartosuwiryo, sehingga tanggal 4 Januari 1962 Kartosuwiryo dapat ditangkap dan diajukan ke sidang Mahkamah Militer. Tanggal 16 Agustus 1962 sidang Mahkamah dalam keadaan Perang untuk Jawa Madura memutuskan hukuman mati bagi Kartosuwiryo. Hukuman mati dilaksanakan tanggal 16 September 1962.

Pada tanggal 20 September 1953 Tenku Daud Beureuh memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari NII Kartosuwiryo. Hal ini dipicu oleh kekecewaan Letkol Tenku Daud Beureuh selaku Gubernur Militer Aceh karena status Aceh sebagai Propinsi dibatalkan oleh Kabinet PM. M. Natsir sehingga menjadi Karesidenan bagian dari Sumatra Utara. Pada saat kekecewaan sampai pada puncaknya datang utusan dari Kartosuwiryo untuk bergabung. Ajakan itu diterimanya sehingga pasukan Tenku Daud Beureuh melakukan pemberontakan untuk menguasai kota-kota di wilayah Aceh, antara lain Tapaktuan, Sigli, Bieureun, Kotaraja, Meulaboh.

Gerakan Tenku Daud Beureuh juga mendapat bantuan dari warga Malaya bagian Perlis, Kedah dan Penang yang merasa satu suku dan keluarga.

Menghadapi kegiatan DI/TII Aceh dilakukan operasi militer sejak tahun 1953, namun mengalami kesulitan karena dukungan dari Rakyat Aceh, sehingga dirubah dengan jalan damai. Panglima TT. I saat itu Mayjen M. Yasin berupaya untuk membujuk Letkol Tenku Daud Beureuh kembali ke pangkuan ibu Pertiwi.

Pada tanggal 23 Mei 1959 diadakan musyawarah antara pemerintah Republik Indonesia dengan Rakyat Aceh yang menghasilkan keputusan pemerintah Republik Indonesia untuk menetapkan wilayah Aceh sebagai Propinsi Daerah Istimewa dengan kewenangan khusus bidang keagamaan, pendidikan dan peradatan.

Tanggal 14 Mei 1962 Tenku Daud Beureuh bersembahyang Idul Adha bersama kaum muslimin di Banda Aceh dan tanggal 21 Mei 1962 diadakan kenduri besar sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas pulihnya keamanan di Aceh.

Pada tanggal 4 Mei 1962 Kahar Muzakar memproklamasikan berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia, dengan Kahar Muzakar sebagai Presiden. Semula gerakan Kahar Muzakar merupakan bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. Bergabung dengan DI/TII sebagai akibat tidak setujunya dengan tindakan pemerintah yang membubarkan Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS) yang dibentuk pada perang kemerdekaan sebagai akibat program Rera yang anggotanya dikembalikan ke masyarakat.

Panglima TT. VII Alex Kawilarang 1 Juli 1950 membubarkan KGSS. Kahar Muzakar menentang dan menuntut untuk dijadikan Brigade Hasanudin. Pemerintah mengambil kebijakan sebagai cadangan Nasional, beberapa anggota setuju sewaktu akan dilantik termasuk Kahar Muzakar yang dijadikan acting Wakil Panglima TT. VII Kahar Muzakar dan pengikutnya lari ke hutan kemudian melakukan pengacauan dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo. Menghadapi pemberontakan Kahar Muzakar dilakukan Operasi Militer Halilintar dibawah pimpinan Letkol Warrow dan juga dilakukan pendekatan melalui tokoh-tokoh Sulawesi Selatan, namun tidak membuahkan hasil. Operasi Militer terus dilakukan dan pada tanggal 3 Pebruari 1965 Kahar Muzakar tewas tertembak, sejak saat itu keamanan di Sulawesi Selatan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar