Sabtu, 15 Mei 2010

Perjuangan Trikora

Pada tanggal 6 September 1950 RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI dipimpin Kabinet M.Natsir yang berjuang untuk penyelesaian masalah Irian Barat sebelum 27 Desember 1950 sesuai isi dari KMB.

Pada tahun 1950 warga sipil Belanda berjumlah 55.900 orang tiba di negeri Belanda dari Indonesia, serdadu-serdadu Belanda marah kepada TNI, sehingga timbul perasaan simpati warga Belanda terhadap perjuangan RMS.

Republik Indonesia berusaha untuk berunding dengan Belanda tentang penyerahan Irian barat tetapi Belanda tidak menanggapi.

Pada 4 Oktober 1950 Perdana Menteri Willem Drees menyampaikan telegram yang memprotes TNI yang melakukan penumpasan terhadap gerakan RMS. Akibatnya timbul perasaan anti Belanda pada diri bangsa Indonesia dan adanya desakan untuk pembatalan KMB serta Uni Indonesia-Belanda.

Sejak tahun 1950 Republik Indonesia berupaya untuk menyelesaikan masalah Irian barat dengan Belanda secara damai, namun Belanda tetap menolak setiap usul yang diajukan oleh Republik Indonesia, Belanda masih menginginkan Irian barat menjadi wilayah kekuasaannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1952 Presiden Sukarno menyampaikan pesan penting agar Irian Barat harus direbut hingga menjadi wilayah Indonesia. Pada Oktober 1952, Belanda melapor ke PBB bahwa Irian Barat berpemerintahan sendiri.

Pada tanggal 10 Agustus 1954 Uni Indonesia-Belanda dihapus, namun Menteri Luar Negeri Belanda Luns memprotes upaya Indonesia untuk memperjuangkan Irian Barat, sehingga pada konferensi Bogor dan Asia Afrika Bandung Indonesia memperjuangkan dibicarakannya masalah kembalinya Irian Barat kepada Republik Indonesia, dan mendapatkan sambutan positif dari peserta konferensi. Sejak tahun 1954 s.d. 1957 Indonesia selalu memperjuangkan penyelesaian sengketa masalah Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda melalui forum Perserikatan Bangsa Bangsa, namun Indonesia tidak mendapat 2/3 suara dari anggota PBB, akibatnya rakyat Indonesia yang sudah sejak tahun 1950 mempunyai perasaan anti Belanda makin memuncak.

Dipicu oleh keinginan Belanda untuk memberikan “hak menentukan nasib sendiri (PLEBISIT) kepada rakyat Irian Barat sesuai isi Piagam PBB dan pidato-pidato Presiden Sukarno yang membakar semangat untuk perjuangan Irian Barat, maka pada tanggal 2 Desember 1957 terjadi pemogokan selama 24 jam di seluruh tanah air sebagai reaksi terhadap keputusan PBB yang menerima keinginan Belanda. Tanggal 3 Desember 1957 terjadi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda oleh para buruh. Melihat situasi ini Menteri Kehakiman mengumumkan agar warga belanda yang ada di Indonesia sebanyak + 56.000 orang harus meninggalkan Indonesia selekas mungkin. Tindakan ini sebetulnya ditentang oleh Moh. Natsir, Safrudin Prawira Negara dan Baharudin Harahap, sehingga mereka dituduh sebagai “Musuh Negara”.

Akibatnya yang dianggap sebagai musuh Negara lari ke Padang bergabung dengan Militer setempat yang kemudian mendirikan/memproklamirkan PRRI.

Menghadapi situasi kekacauan di dalam negeri, Perdana Menteri Juanda selaku penguasa pemegang tertinggi SOB (Stat van Oorlog Beleg) mengumumkan keadaan darurat (SOB) dan menugaskan Kasad Jenderal A.H. Nasution untuk mengatasi keadaan. Kasad langsung mengoper kendali perjuangan ‘anti Belanda” dan mengambil alih perusahaan Belanda yang telah diambil alih oleh buruh diletakkan di bawah pengawasan dan penguasaan TNI AD untuk selanjutnya diserahkan kepada Departemen terkait.

Kasad selaku pemegang SOB melakukan kebijakan Nasionalisasi perusahaan Belanda dan mengisi pimpinan-pimpinan perusahaan Belanda yang kosong ditinggalkan oleh Manager Belanda dengan prajurit TNI terpilih.

Atas kebijakan Kasad selaku pemegang SOB yang menasionalisasi perusahaan Belanda, makin menambah kebencian Belanda terhadap NKRI terutama TNI.

Menghadapi kebijakan Republik Indonesia tersebut, Belanda makin gigih berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya di Irian Barat, dengan cara mencari sekutu Australia, Inggris, Amerika Serikat dan Negara-negara tetangga Indonesia seperti Philipina, Malaya dan Korea.

Pada tahun 1958 Belanda mengumumkan akan mengirim pasukan guna memperkuat wilayah Irian Barat yang dipersengketakan.

Sikap Belanda ini tidak disetujui oleh Australia, tetapi Australia mendukung sepenuhnya kedaulatan Belanda atas Irian Barat serta kecemasan atas tindakan bangsa Indonesia khususnya TNI dalam kasus pemulangan warga Negara Belanda dan pengambilalihan perusahaan Belanda. Belanda meminta bantuan Australia untuk menghadapi Indonesia. Atas ajakan tersebut Australia mengajak Amerika Serikat dan Inggris untuk merintangi kekuatan miiiter Indonesia, agar tidak terjadi perang terbuka antara Indonesia dengan Belanda dan juga pemerintah Australia berniat ingin membeli Irian Barat dari Belanda.

Atas sikap Australia tersebut, pemerintah Republik Indonesia berupaya secara diplomatis mengadakan pendekatan terhadap Australia namun tidak mendapatkan hasil, Australia masih tetap pada pendiriannya untuk mendukung Belanda.

Pada tahun 1958 Belanda mengirimkan pasukan, kapal- kapal perang serta pesawat-pesawat militer militer ke Irian Barat, yang dianggap oleh Indonesia sebagai suatu tindakan provokasi dan intimidasi. Apalagi sesuai perundingan KMB, Indonesia telah berupaya untuk menyelesaikan masalah Irian Barat sejak tahun 1950 sampai tahun 1957 tidak membuahkan hasil, Belanda tidak mau berunding dengan Indonesia sehingga Indonesia mengambil jalan lain yaitu nasionalisasi perusahan Belanda di Indonesia, pemulangan orang-orang Belanda yang tidak diperlukan lagi di Indonesia, pemindahan pasar tambahan Indonesia dari Belanda ke Bremen Republik Federal Jerman dan pembatalan penguasaan hak milik (eigendom) Belanda atas tanah di Indonesia. Serta memutuskan tidak lagi mengajukan masalah Irian Barat melalui Majelis Umum PBB tetapi membentuk Front Nasional pembebasan Irian Barat.

Pada saat Indonesia mempersiapkan jalan lain mengadopsi Belanda, didalam negeri timbul gejolak di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara yang tergabung dalam PRRI/Permesta yaitu Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memisahkan diri dari pemerintah Republik Indonesia yang “dianggap dipimpin oleh pejabat yang berpaham komunis” baik dilingkungan pemerintah maupun TNI, akibatnya perjuangan PRRI didukung oleh Negara-negara yang anti terhadap komunis yaitu Amerika serikat, Australia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaya.

Menghadapi PRRI, pemerintah melancarkan Operasi Tegas yang bertujuan untuk menumpas dan merebut kedudukan PRRI didaerah Riau dengan sasaran pokok Pekanbaru.

Pada tanggal 12 Maret 1958 Pekanbaru dapat diduduki dan pasukan PRRI dipukul mundur. Pada saat TNI menduduki lapangan terbang Pekanbaru dapat disita bantuan senjata dan perbekalan yang diterjunkan oleh pesawat udara asing untuk kepentingan PRRI dan kilang-kilang minyak Caltex di Pekanbaru dapat diselamatkan.

Setelah Operasi Tegas di Riau berhasil dilanjutkan dengan Operasi Sapta Marga di Sumatra Utara yang bertujuan untuk menghadapi kekuatan pasukan PRRI di Sumatra Utara yang berasal dari Tapanuli.

Pada saat yang bersamaan dilakukan Operasi Tujuh Belah Agustus untuk menghadapi kekuatan pasukan PRRI di Sumatra Barat dengan sasaran penduduk kota Padang, kemudian dilanjutkan dengan Operasi Sadar di daerah Sumatra Selatan untuk menumpas pasukan PRRI Sumatra Selatan dan membersihkan TT II Sumatra Selatan dari anasir PRRI.

Semua operasi militer yang dilakukan menghadapi PRRI dapat berhasil dengan baik, sehingga pemerintah di wilayah Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sumatra Tengah dapat dipulihkan.

Pada saat TNI sedang melaksanakan Operasi Tegas di Pekanbaru, berkali-kali pemerintah Amerika Serikat meminta ijin kepada pemerintah Indonesia untuk melindungi obyek vital mereka kilang minyak Caltex dengan persiapan telah menempatkan pasukan marinirnya di Singapura.

Untuk menghadapi Permesta di Sulawesi Utara dilakukan Operasi Insaf dan Operasi Merdeka. Kekuatan Permesta di Sulawusi Utara sangat kuat karena dibantu oleh pesawat tempur asing, sehingga pada saat TNI melaksanakan operasi militer di Sumatra, pasukan udara Permesta (Aurev) merajai Indonesia bagian timur. Melakukan pengeboman di kota Ambon, Jailolo, Morotai, Gorontalo, Tondano dan Manado. Namun kehebatan Aurev Permesta dapat dihadapi oleh pasukan TNI sehingga sebuah pesawat pembom B.25 dapat ditembak jatuh yang dipiloti oleh Allan Lawurence Pope (warga Amerika). Operasi militer yang dilakukan TNI menghadapi PRRI dan Permesta telah berhasil menduduki wilayah dan menghancurkan kekuatannya sehingga para pimpinannya sebagian besar mengikuti himbauan pemerintah untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.


Akibat adanya pergolakan di dalam Negeri, maka perjuangan untuk mengembalikan Irian barat kedalam NKRI mengalami penundaan.


Kegagalan RI untuk menyelesaikan secara diplomatis masalah Irian Barat dengan Belanda sejak tahun 1950 mengalami kegagalan. Kegagalan ini diakibatkan karena pada Agustus 1952 Pemerintah Belanda dengan persetujuan Parlemen secara sepihak memasukkan irian barat sebagai bagian wilayah kekuasaannya.
Hal ini dijawab Indonesia dengan tindakan menghapus misi militer Belanda pada bulan April 1953 dan sejak tahun 1957 seluruh komponen bangsa Indonesia setuju untuk berjuang memasukkan wilayah irian Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Tekad ini dimulai saat memperingati hari Pahlawan 10 Nopember 1957. BKS PM dan LVRI berhasil mengambil alih gedung Harmoni (simbul colonial Belanda dalam menegakkan kekuasaannya di Indonesia karena gedung Harmoni merupakan tempat pertemuan orang-orang Belanda dan orang-orang yang melakukan kegiatan subversi di Indonesia).
Tindakkan selanjutnya yaitu pada tanggal 3 Desember 1957 Front Buruh Tani, Pemuda Militer melakukan pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda dengan maksud memotong urat nadi ekonomi Belanda di Indonesia, Belanda menguasai sebagian besar perkebunan di Indonesia.
Selanjutnya melarang Mass Media (surat kabar, radio, film, majalah) menggunakan bahasa Belanda. Pada tanggal 5 Desember 1957 Indonesia menghentikan kegiatan perwakilan belanda di Indonesia, para Diplomatnya dinyatakan sebagai pesona non grata dan perwakilan RI di Belanda ditarik sehingga terputus hubungan diplomatik.
Akibat tindakan Indonesia tersebut, Belanda menutup pusat perdagangan di Nedherland, mengusir mahasiswa yang belajar di Belanda dan menyita emas milik Javasche Bank di negeri Belanda.
Tindakan Belanda telah mendorong kebulatan tekad seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang mengembalikan Irian Barat diluar jalur diplomasi melalui FNIB, namun gagal karena dihambat oleh PKI yang akhirnya diganti oleh Presiden dengan membentuk Front Nasional.

Sejak tahun 1958 berturut-turut Belanda memperkuat pertahanannya di Irian Barat. Usaha tersebut dilakukan antara lain dengan menyebarkan issue kepada rakyat Irian Barat bahwa suku irian bukan suku melayu yang menjadi asal usul orang Indonesia. Suku Irian berasal dari suku Melanesia secara etnik dan kultural, sehingga Belanda ingin mempertemukan suku Irian dengan penduduk pulau-pulau lain di Pasifik, disamping itu Belanda membentuk Dewan Niew Guniea (legislative) yang diangkat oleh Gubernur Belanda (dijadikan sebagai penasehat); diciptakan jabatan-jabatan baru untuk rakyat Irian yaitu Polisi Papua dan Batalyon Papua.
Setelah orang-orang yang diangkat sebagai Dewan Papua banyak dibentuk Komite Nasional Papua yang Ketua Dewannya diangkat oleh Gubernur Belanda dari seorang Belanda, dengan tugas membentuk Negara Papua lepas dari NKRI sesuai keinginan Belanda. Taktik belanda melalui Komite Nasional Papua berhasil mengeluarkan Manifes yang berisi antara lain :
- Penentuan Bendera Papua yaitu Bintang Kejora
- Penciptaan lagu kebangsaan Papua
- Penggantian nama West Nieuw Guinea menjadi Papua Barat
- Pemakaian nama bangsa Papua
- Pengibaran bendera Papua pada tanggal 1 November 1961
- Berdirinya Negara Papua pada tanggal 1 Desember 1961
Kegiatan tersebut dibarengi dengan perkuatan pertahanan Belanda di Irian. Belanda membagi pertahanannya dalam 3 lini yaitu :
- Lini pertama : Seluruh wilayah sebelah selatan pegunungan yang membujur sepanjang Irian Barat dengan pertahanan Sorong sampai Merauke menjadi tanggung jawab KL (Angkatan Darat Belanda).
- Lini kedua : Seluruh wilayah sebelah utara pegunungan yang membujur sepanjang Irian Barat dengan pertahanan manokwari, Middleburg dan Holandia yang menjadi tanggung jawab KL dibantu Korps marinir.
- Lini ketiga : Kepulauan Biak yang merupakan pusat pertahanan dan pembekalan Belanda yang dipertahankan oleh Korps Marinir.
Angkatan Laut Belanda diatur dari Biak untuk mengawasi perairan pantai selatan sampai kepulauan Raja Empat secara terus menerus dan bersifat mobile didukung oleh LST. Pesawat-pesawat militer Belanda dipusatkan di lapangan terbang Borutu dan Mokmer di Biak, secara rutin diterbangkan 2 atau 3 pesawat Firefly di Jefman untuk pengamanan dan pengintaian.
Pertahanan Belanda dipusatkan di Biak tetapi diatur dari pusat pemerintahan Belanda di Hollandia.
Tindakan militer dan politik Belanda dibarengi dengan tindakan diplomasi yaitu pada tahun 1960 Menteri Luar Negeri Belanda Luns menyampaikan resolusi kepada PBB bahwa Belanda mendekolonisasi Nieuw Guina, setelah ditentukan keinginan sesungguhnya dari penduduk asli apakah tetap dibawah Merah Putih Biru, apakah ingin berdiri sendiri atau ingin bergabung dengan Republik Indonesia. Belanda tidak ingin plebisit berlangsung dengan tidak baik, Belanda tidak ingin ikut campur
Menghadapi kenyataan berdirinya Negara Papua tanggal 1 Desember 1961 yang dibidani oleh Belanda, Presiden RI Sukarno pada tanggal 19 Desember 1961 mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Tanggal 19 Desember sengaja dipilih untuk mengingatkan tanggal Belanda melakukan Agresi Militer ke II 19 Desember 1948.
Trikora merupakan perintah kepada rakyat Indonesia untuk :
a. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Kolonial Belanda.
b. Kobarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Perintah Presiden tersebut disambut baik oleh masyarakat sehingga berduyun-duyun mesyarakat mendaftarkan diri sebagai sukarelawan.
KSAD Jenderal A.H. Nasution yang merangkap sebagai Ketua Front Nasional bentukan Presiden Sukarno menginstruksikan dilaksanakannya :
- Operasi A untuk memulai infiltrasi ke Irian Barat bagian Barat.
- Operasi B untuk menghimpun dan kaderisasi terhadap putera-putera asal Irian Barat dan daerah-daerah Maluku perbatasan tempat dari bekas Kesultanan Tidore yang pada jaman Hindia Belanda membawahi wilayah Irian Barat.
- Operasi C ditugaskan Uyeng Sumargana dan para atase militer di Eropa untuk melakukan operasi intelijen mempengaruhi sikap tokoh-tokoh yang berhubungan dengan Belanda.
Instruksi tersebut segera dilaksanakan, sehingga direkrut kader-kader putra Irian yang dididik sebagai gerilyawan yang selanjutnya dikirim untuk diinfiltrasikan ke wilayah Irian Barat.
Hasil didikan tersebut pada tanggal 9 Nopember 1960 telah dikirim 29 orang yang tergabung dalam PG 100 dipimpin oleh Indra Antaibine menuju teluk Etna Kaimana dan berhasil, di susul pada tanggal 14 September 1961 sebanyak 39 orang PG 200, dipimpin oleh Jamaludin Nasution yang mendarat dijasirah Cendrawasih. Pada tanggal 18 Maret 1962 dua peleton pasukan yang tergabung dalam PG 300 dibawah pimpinan Letnan Nana berlayar dari pulau Gebe menuju Waige, namun gagal ditengah jalan diketahui oleh patroli pesawat Neptune Belanda sehingga pelayaran dibelokkan ke Pulau Gag. Akibatnya Belanda meningkatkan patroli di sekitar pulau Gag dengan pesawat dan kapal perang. Para gerilyawan dibekali radio sehingga dapat melaporkan kejadian yang dialami, pada tanggal 25 Maret 1962 terjadi pertempuran antara pesawat AURI dengan pesawat Belanda yang mengakibatkan jatuhnya pesawat Belanda.
Menghadapi kekalahan dalam pertempuran, Belanda meningkatkan patroli dan kekuatan, pulau Gag dibombardir, namun pasukan gerilyawan dapat menyelamatkan dan pada saat yang kritis gerilyawan mendapat tambahan 29 orang penduduk pulau Gag yang bergabung dengan gerilyawan sehingga dapat menyusup ke pantai. Keberhasilan penyusupan infiltran PG 100, PG 200 dan PG 300 ke pulau-pulau sebelah Barat Irian dilanjutkan dengan penyusupan PG 400, PG 600 yang kemudian membentuk pos-pos Komando untuk persiapan operasi militer.
Melihat kondisi Irian Barat yang makin menunjukkan situasi pertempuran, maka Presiden pada sidang Dewan Nasional tanggal 31 Desember 1961 mengeluarkan instruksi Presiden/ Pangti ABRI/ Panglima Besar Kotib Pemirbar No 10 tahun 1962 yang memuat tugas sbb:
- Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan pengembalian wilayah Irian Barat kedalam kekuasaan Negara Republik Indonesia.
- mengembangkan situasi militer diwilayah Propinsi Irian Barat dapat secara de fakto diciptakan daerah-daerah bebas dan/atau di dudukan unsur-unsur kekuasaan pemerintah daerah Republik Indonesia.
Sejalan dengan instruksi tersebut dibentuklah Komando Mandala Irian Barat dengan susunan sebagai berikut :
- Panglima : Mayjen TNI Suharto
- Wakil Panglima I : Kolonel (L) Sudomo
- Wakil Panglima II : Kolonel Udara Penerbang Leo Wattimena
Dan pada tanggal 6 Pebruari diangkat kepada staf gabungan Kolonel Inf A. Tahir. Komando Mandala menyusun strategi perjuangan dalam 3 fase.
- Fase infiltrasi memasukkan berangsur-angsur sampai 10 kompi inti ABRI sampai dengan akhir 1963 yang bertugas untuk menyusup ke daerah musuh untuk mengadakan aksi gerilya dan mengacaukan musuh selanjutnya mendirikan pos-pos terdepan sebagai persiapan bagi penyerbuan pasukan yang lebih besar.
- Fase eksploitasi untuk melaksanakan serangan terbuka terhadap induk pasukan di Biak dan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dimulai awal tahun 1963.
Dalam operasi militer, pergerakan pasukan melalui garis jalan pendekat:
- Garis Utara : Jawa - Selat Makasar ke Menado – Morotai
- Garis Tengah : Jawa – Makasar - Ambon
- Garis Selatan : Jawa - Nusa Tenggara - Dobo
- Fase Konsolidasi : mengkonsolidasikan kekuatan Republik Indonesia diseluruh Irian Barat setelah perjuangan berhasil.
Perjuangan Komando Mandala Irian Barat didukung oleh seluruh Angkatan Darat, Laut, Udara yang masing-masing menjabarkan dalam operasi militer sesuai matranya.
Untuk menunjang kekuatan Angkatan Bersenjata telah dibeli peralatan militer dari Uni Sovyet, Yugoslavia dan beberapa negara Eropa Timur, semula Indonesia ingin membeli peralatan militer dari Amerika sesuai kesepakatan antara Presiden RI dengan Presiden Amerika namun dibatalkan karena Amerika sebagai sekutu Belanda tidak mengijinkan senjata yang dibeli dari Amerika digunakan untuk berperang melawan Belanda di Irian, dan akhirnya gagal membeli senjata dari Amerika, Indonesia beralih membeli senjata dari Uni Sovyet. Indonesia diberi persenjataan termodern seperti dimiliki oleh Pakta Warsawa untuk Angkatan Laut, Angkatan Udara serta sebagian Angkatan Darat berupa meriam dan senjata api.
Senjata-senjata dari Uni Sovyet dan Eropa Timur melengkapi kekuatan Angkatan Bersenjata Indonesia sehingga Indonesia saat itu merupakan militer yang terkuat di Asia Tenggara.
Dengan berbekal peralatan militer pembelian dari Uni Sovyet, TNI mulai melaksanakan operasi militer Mandala.
Fase Infiltrasi dimulai dengan pengiriman para infiltran yang diangkut dengan kapal laut yang dipimpin oleh Kolonel Sudomo yang didalamnya ikut serta bersama gerilyawan Komodor Yos Sudarso Deputi operasi Kasal yang berdampak insiden dipulau Aru tertembaknya KRI Macan Tutul oleh kapal perang Belanda yang mengakibatkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dan tenggelamnya KRI Macan Tutul, dan tiga KRI lain dapat menyelamatkan diri. Setelah gagal infiltrasi melalui laut, dilanjutkan melalui udara beberapa kali, yang sukses mencapai sasaran dan sebagian pasukannya utuh yaitu operasi Naga dibawah pimpinan Kapten LB. Murdani. Pasukan Infiltran yang dibantu oleh rakyat setempat telah mampu untuk melakukan penyerangan dan melemahkan pertahanan Belanda. Dilain pihak kekuatan Laut dan Udara RI telah digelar untuk melakukan patroli diwilayah perbatasan dengan Irian, sehingga setiap saat siap untuk melukakan pertempuran. Sambil menyiapkan kekuatan untuk operasi militer, TNI juga melaksanakan operasi C (operasi intelijen) oleh para atase militer yang dipimpin oleh Uyeng Sumargana. Hasil operasi C ditindaklanjuti kunjungan Kasad Jenderal A.H. Nasution yang merangkap juga sebagai Ketua Gabungan Kepala Staf ke Negara-negara kawan Indonesia (India, Pakistan, RPA, Mesir, Thailand, Philipina), Negara sekutu Belanda (Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru), Jerman, Perancis) maupun Negara lain seperti Uni Sovyet, Yugoslavia, Malaysia. Kunjungan tersebut dalam rangka menjelaskan perjuangan Indonesia untuk Irian Barat serta meminta bantuan Negara lain bila terjadi perang antara Indonesia melawan belanda di Irian Barat. Operasi C berhasil meyakinkan pejabat yang dikunjungi serta para pengusaha Belanda yang lebih mementingkan Indonesia dari pada Irian Barat dari kepentingan ekonomi mereka, sehingga mereka mendesak pemerintah Belanda agar mengakhiri pendudukannya di Irian. Dilain pihak operasi C juga berhasil mendekati Prof. Rostov penasehat Presiden Kennedy, sehingga Presiden Kenndedy dapat berubah pikiran terhadap Indonesia.
Perubahan sikap Amerika yang semula mendukung Belanda menjadi mengerti posisi Indonesia berdampak pada kesediaan Amerika menjadi mediator perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk penyelesaian Irian Barat.
Melalui perundingan yang difasilitasi Elworth Bunker (Amerika) dilakukan perundingan antara Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Subandriyo dengan Menteri Luar Negeri Belanda Luns.
Dibantu oleh Sekjen PBB U Thant, dapat dicapai kesepatan tentang serah terima kekuasaan di Irian Barat dari Belanda ke Indonesia setelah melalui pemerintahan peralihan yang dipimpin oleh UNTEA.

Bom Waktu Belanda di Irian
Setelah Belanda menyetujui perundingan Elworth Bunker tanggal 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani di Markas PBB New York oleh Menlu Subandrio (Indonesia), J Herman Van Roijen (Belanda) serta CWA Schurmen (Belanda), kemudian Presiden RI Sukarno mengeluarkan perintah penghentian tembak menembak sejak tanggal 18 Agustus 1962.
Dalam perjanjian New York disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Jaya kepada badan PBB (UNTEA) pada bulan Oktober 1962 yang selanjutnya UNTEA menyerahkan kepada Indonesia bulan Mei 1963.
Pada saat dalam pemerintahan UNTEA, Belanda sengaja mendidik rakyat Irian hidup mewah, dengan mendatangkan barang-mewah dengan mudah, sehingga kelak setelah Irian kembali ke Indonesia dengan kondisi sukar diperoleh barang-barang akan menimbulkan pikiran bahwa ikut Belanda lebih menguntungkan dari pada ikut Indonesia. Disamping kegiatan tersebut, Belanda juga sudah berhasil untuk mendidik TT Aronggor pemimpin politik Organisasi Papua Merdeka untuk melakukan kegiatan anti pemerintah RI antara lain saat diresmikannya Korem 171 pada Oktober 1964 terjadi hasutan-hasutan kepada penduduk dan tindakan kriminal. Kegiatan mereka lebih terlihat sejak Indonesia keluar dari PBB saat konfrontasi Malaysia dan tersebarnya isu bahwa “tidak diadakannya plebisit tahun 1969”, maka sejak bulan Juli 1965 banyak pegawai negeri pada Manokwari mengajukan cuti ke luar negeri dan belum mendapat ijin cuti sudah kabur ke Belanda, diantara pegawai tersebut terdapat TT Aranggor.
Pada saat pemeriksaan TT Aranggor diperoleh dokumen Resolusi dari masyarakat Irian Jaya di seluruh kepulauan Irian tangggal 19 April 1965 yang isinya menuntut pembentukan Negara Papua Merdeka.resolusi tersebut dibawa oleh TT Aranggor ke PBB dan Kerajaan Belanda.
OPM telah diproklamasikan tahun 1964 di Ayamari dengan perjuangan :
- Secara politis mengirim resolusi ke PBB dan Kerajaan Belanda dilakukan oleh TT Aranggor.
- Secara militer mengajak rakyat Irian bergerilya melawan pemerintah Indonesia dengan pasukan inti eks anggota Polisi Papua dan Batalyon Papua (buatan Belanda) pimpinan Fery Awom yang mendapat dukungan dari Suku Arfak manokwari pimpinan Mayor Tit Lodewijk Mandacan, Kapten Tit Barent Mandacan serta Lettu Tit Irugi Maedogda.
OPM pada tanggal 26 dan 28 Juli 1965 menyerang asrama Yonif 751 Cendrawasih di Arfai. Atas kasus terebut pemerintah RI menyerukan rakyat dan prajurit Batalyon untuk kembali dan akhirnya dipenuhi oleh Lodewijk Mandacan beserta pengikutnya kembali. Batalyon Papua adalah PVK (Papua Vrijwilegers Korps) yang dibentuk oleh Belanda atas ide Overste De Oyen saat Trokora, dididik di Kompi Arfai dengan Komandan Kolonel Van Schout dan Kepala Staf Mayor Marinir Fetter dengan tujuan sebagai kader-kader militan dari daerah untuk menentang RI dididik dan dilatih melawan TNI dan diindoktrir siang malam untuk melawan Republik Indonesia, terutama rakyat yang anti Belanda sangat dibenci.
Kekuatan pemberontak OPM didukung oleh suku Arfak dan sebagian besar eks Batalyon Papua dengan senjata panah dan parang. Dalam melaksanakan perjuangannya OPM dibantu oleh Lover Strand (Pendeta USA) dan Pater Van Den Berk (Pastor Belanda) yang dalam kegiatannya sebagai missionaries dan Zending. Informasi tersebut diperoleh dari hasil pemeriksaan seorang PNS perekonomian Pemda Irja Zakarias Sawor yang mengaku dibantu oleh Pastor Belanda Pater Van Den Berk saat pengibaran bendera OPM serta pengiriman berita ke luar negeri terutama tentang kelemahan-kelemahan dan keburukan-keburukan pemerintah RI di Irian Jaya. Tokoh OPM yang berada di luar negeri:
Belanda : Marcus Kasiepo dan Nicolas Youme
Jepang : Herman Wansiwor
PNG : Dicky Saewom
Menghadapi kegiatan OPM, TNI melakukan operasi militer “Sadar” dengan titik berat operasi intel dan pemisahan rakyat dari gerombolan, dilanjutkan dengan operasi Wibawa dengan hasil menyerahnya tokoh pemberontak :
- Rumbiak pada tahun 1968
- Lodewijk Mandacan 1969
- Barent Mandacan 1969
- Yohanes Mandacan 1969
- Wanma 1969
- Prawar 1969
- Wambrauw 1970
- Ajoi /Jamboani 1970

Operasi sadar dengan penyebaran Pamflet dari Pangdam XVII Cendrawasih Brigjen TNI Sarwo Edi Wibowo dan pesanan Jenderal A.H. Nasution (Ketua MPRS) sewaktu berkunjung ke Irian yang menghimbau agar Lodewijk Mandacan bersama kelompoknya turun gunung sebanyak 1869 orang diantaranya 257 orang bersenjata 33 pucuk. Keberhasilan operasi ini dengan menggunakan pendekatan dari Mayor Heru dan Serma Udara Sekky yang merupakan anak angkat Lodewijk Mandacan.
Setelah menyerah pada tanggal 7 Januari 1969 Mayor Lodewijk Mandacan, Kapten Barent Mandacan, Mayor Heru, Serma Udara Slekky, Mayjen Askari dan Brigjen Sarwo Edi berangkat ke Jakarta menghadap Presiden.
Setelah operasi sadar selesai dilanjutkan dengan operasi Wibawa yang dapat menangkap Abraham Seiba. Dalam pemeriksaan ia mengaku sebagai kurir yang menghubungkan Fery Awom dengan Ledewijk Mandacan dan menyatakan bahwa Fery Awom dilindungi kepala-kepala suku Irian.
Melalui Abraham Seiba, Fery Awom dapat diminta turun gunung dan pada tanggal 19 Nopember 1970 Fery Awom beserta 20 orang pasukan bersenjata beserta 16 kepala suku dengan pengikut 500 rakyat menyerahkan diri secara resmi kepada Pangdam Brigjen Acup Zaenal.
Atas penyerahan diri tersebut, akhirnya orang-orang yang terlibat pada peristiwa Mandacan dan Fery Awom diberikan pengampunan Presiden melalui Amnesti dan Abolisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar